Penduduk
Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang
menyebar dari seluruh pelosok Tanah Air. Pembentukan masyarakatnya pun
lebih dominan berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh pendatang yang
berasal dari daerah-daerah sekitar seperti Makassar, Bugis dengan
mendiami wilayah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan penduduk
asli, salah satu caranya dengan melakukan perkawinan dengan gadis-gadis
asli Bima. Mata pencaharian penduduknya cukup bervariasi seperti petani,
pedagang, nelayan atau pegawai pemerintahan.
Para
pendatang ini datang pada sekitar abad XIV, baik untuk berdagang
ataupun menyiarkan agama. Dengan beragamnya etnis dan budaya yang masuk
ke Bima maka tak mengherankan jika perkembangan agama di daerah ini
cukup beragam meski 90 persen masyarakatnya memeluk agama Islam.
Masyarakat Bima juga dikenal tetap memegang teguh nilai-nilai kearifan
yang sudah tertanam sejak zaman nenek moyang mereka.
Karena
mayoritas penduduknya beragama Islam, pola hidup keseharian
masyarakatnya berpedoman pada aturan dan syariat Islam, termasuk
penyelenggaraan upacara perkawinannya. Berikut adalah urutan upacara
perkawinan masyarakat Bima, mulai dari tahapan penjajakan yang dilakukan
oleh seorang jejaka terhadap sang gadis sampai acara sesudah prosesi
akad nikah.
Tahapan Palinga
Merupakan
proses awal dari keseluruhan rangkaian tata cara adat di mana seorang
jejaka melakukan penjajakan untuk mencari seorang gadis yang akan
dijadikan pasangan hidup. Bila dalam tahapan palinga ini ternyata si
jejaka menyukai gadis tersebut dan ingin memperistrinya maka dia akan
melaporkan hal ini kepada orangtuanya. Untuk mewujudkan keinginan sang
anak, pihak keluarga pria akan mengirimkan utusan keluarga yang diberi
tugas mencari tahu apakah gadis yang diinginkan anak lelakinya tersebut
sudah ada yang punya atau belum. Bila belum ada yang punya dan si gadis
bersedia menerima maksud hati sang jejaka yang disampaikan oleh
utusannya maka akan dilakukan kesepakatan untuk menentukan kapan saat
yang tepat keluarga pihak pria akan datang ke rumah keluarga gadis itu
untuk melakukan peminangan secara resmi.
Peminangan
Pada
hari yang telah disepakati sebelumnya, keluarga pihak pria beserta
rombongan akan mendatangi rumah sang gadis untuk meminang. Kedua belah
pihak keluarga akan mengadakan pembicaraan lebih lanjut untuk dapat
berbesan. Bila ternyata dalam pertemuan ini tidak ditemukan kata sepakat
maka kedua belah pihak akan menentukan hari, tanggal dan berbagai
syarat keperluan adat yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga pria
menjelang pernikahan.
Kemudian
memasuki tahapan pegantaran dan penerimaan Mahar yang dalam bahasa
Mbojo disebut Oto Co’i dan Tarima Co’i yang diawali dengan pertemuan dan
rembuk antara dua keluarga yang diwakili oleh Ompu Panati atau juru
runding keluarga. Sebelum dilakukan Akad atau Pesta( Jambuta),
dilaksanakanlah prosesi Kalondo Wei atau dikenal dengan prosesi
menjemput calon Istri ke rumah orang tuanya untuk dibawa ke UMA RUKA
(Rumah Mahligai atau Rumah Rias) yang dibangun oleh calon mempelai pria.
Pada masa lalu prosesi ini dilakukan pada sore hari atau malam hari.
Musik pengiringnya adalah Hadrah Rebana atau atraksi Gentaong.
Setibanya
di rumah calon pengantin wanita, rombongan calon pengantin pria
disambut dengan taburan beras kuning sebagai lambang penghormatan kepada
tamu dan kemakmuran negeri. Kemudian dipersilahkan untuk menjemput
calon pengantin wanita. Disnilah terjadi berbalas pantun antara kedua
calon pengantin atau muda mudi yang memadati tempat itu. Lalu, calon
pengantin wanita ditandu di atas Pabule atau sebuah usungan berbentuk
segi empat yang berukuran satu kali satu meter yang diusung oleh empat
orang pemuda kekar untuk dibawa ke Uma Ruka.
Upacara Malam Kapanca
Sebelum
menuju prosesi Kapanca, diadakan acara tekarne’e khusus untuk kaum ibu,
biasanya berlangsung di rumah calon mempelai wanita selama dua hari
hingga malam kapanca dilaksanakan. Pada malam hari sebelum akad nikah
dikediaman calon mempelai wanita akan melaksanakan upacara malam
kapanca, pemakaian daun pacar. Dengan memulung daun pacar, para ibu
secara bergantian memasang daun pacar. Pemakaian daun pacar tersebut
tidak hanya dikuku tapi juga ditelapak tangan calon mempelai wanita dan
harus berjumlah ganjil, tujuh atau sembilan. Dengan diiringi zikir, ini
dimaksudkan sebagai doa restu agar kelak calon mempelai wanita
diharapkan akan mendapatkan kebahagian dan kedamaian dalam berumah
tangga. Untuk upacara kapanca ini, calon mempelai wanita dirias terlebih
dahulu layaknya riasan pengantin serta memakai pakaian adat dan duduk
ditengah undangan yang hadir pada malam itu yang semuanya perempuan.
Upacara
kapanca juga dimaksudkan untuk memberi contoh pada gadis remaja yang
hadir untuk mengikuti jejak calon mempelai wanita yang akan bersanding
dan mengakhiri masa lajangnya. Dengan adanya tanda merah dikedua tangan
calon mempelai wanita, menunjukkan gadis tersebut telah menjadi milik
seseorang atau bukan gadis lagi karena keesokan harinya akan
dilangsungkan akad nikah. Sebelum acara kapanca dilaksanakan, terlebih
dahulu dilakukan acara sangongo atau mandi uap dengan memakai bunga dan
rempah-rempah. Usai acara sangongo, masih dikediaman calon mempelai
wanita akan diadakan acara boho oi ndeu atau siraman. Kemudian
dilanjutkan dengan acara cafi ra hambu maru kai atau membersihkan,
menata dan merias kamar pengantin. Selesai upacara kapanca dan rangkaian
acara lainnya dikediaman calon mempelai wanita diadakan acara rawa
mbojo, nyanyian tradisional Bima yang diiringi biola dan syairnya berupa
pantun yang berisikan nasehat untuk kedua pengantin. Acara ini biasanya
berlangsung hingga pagi.
Upacara Wa’a Coi (Antar Mahar) dan Akad Nikah
Tibalah
hari yang ditetapkan untuk Akad nikah, rombongan calon mempelai pria
menuju kediaman mempelai wanita. Bersama seorang ketua adat/tokoh
keluarga sebagai juru bicara mewakili orangtua. Calon mempelai pria
diapit oleh dua orang pendamping dan membawa perlengkapan, baik menurut
syariat maupun adat berupa mahar yang telah disepakati.
Rombongan
datang diiringi hadra dan bersalawat. Sebelum rombongan masuk,
rombongan tersebut dihalangi oleh keluarga pihak mempelai wanita dengan
sebuah galah. Acara ini disebut upacara tapa gala (main hadang), calon
mempelai pria tidak diperbolehkan masuk dengan mudah. Sejumlah ibu akan
memegang sebatang bambu panjang yang kuat, dipegang melintang. Potongan
bambu tersebut harus dilewati, pada saat itulah terjadi dorong mendorong
antara kaum ibu dari rombongan keluarga pihak calon mempelai pria
dengan kaum ibu dari pihak mempelai wanita. Pada akhirnya nanti, pihak
calon mempelai wanita akan kalah. Kemudian rombongan calon mempelai pria
tersebut juga harus memperlihatkan kemampuan dalam bermain gentao,
memainkan pedang. Setelah semuanya bisa dilalui barulah rombongan
dipersilahkan untuk masuk dan segera melaksanakan akad nikah.
Acara Tokencai
Acara
tokencai ini dilakukan setelah upacara akad nikah selesai dilaksanakan.
Pengantin pria datang menuju kamar pengantin untuk menjemput sang
istri. Sebelum masuk, dia harus terlebih dahulu mengetuk pintu kamar dan
terjadilah acara saling berbalas pantun. Pintu kamar akan dibukakan
bila pengantin pria bersedia memberikan hadiah atau sejumlah uang yang
besarnya telah ditentukan oleh ina ru’u atau perias pengantin.
Setelah
prosesi akad nikah kemudian dilanjutkan acara jambuta atau pesta,
setelah itu baru diadakan semacam syukuran dan ini biasanya kesepakatan
antara 2 keluarga baru tersebut. Syukuran bisa dilaksanakan pada sore
atau malam hari.Keesokan paginya, masih di rumah mempelai wanita, ada
proses boho oi ndeu dan Boho Oi Mbaru yaitu prosesi memandikan pengantin
dengan air doa yang suci. Terbesit harapan semoga mereka tetap suci
bersih sebagaimana ketika mereka dilahirkan. Dan suci bersih pula dalam
mengarungi kehudupan rumah tangga. Dalam prosesi ini pula muda mudi
dianjurkan untuk menyaksikan dengan harapan agar mereka cepat dapat
jodoh dan lekas kawin mengikuti jejak rekan-rekannya.
Busana
pengantin pria : bula - tutup kepala, pasangi baju lengan panjang dan
celana panjang, siki - kain songket setinggi lutut, saba - sabuk, salipe
- ikat pinggang diikatkan pada saba sampari - keris, pasapu - sapu
tangan diikatkan pada keris.
Busana
pengantin wanita : wange tata rias rambut dihiasi karaba - gabah padi
digoreng tanpa minyak diikatkan pada wange, samu-utu-u - sanggul, jungge
- tusuk sanggul atau konde jungge cina - bentuk kembang goyang - jungge
cempaka - bentuk bunga - jungge dondo - dari emas dihias manik-manik,
bangka dondo - hiasan telinga, baju poro, tembe sangke - kain songket,
jima - gelang tangan, jima ancu hiasan lengan, salipe - ikat pinggang,
pasapu - sapu tangan.